Kita semua belajar tentang kerendahan hati ketika Rasulullah saw mengangkat perkara kecemburuan ini ke langit. Tidak adakah solusi di bumi manusia? Boleh jadi memang. Tapi pesan pentingnya adalah bahwa sepanjang hati manusia ada dalam genggaman Allah, di mana Ia dapat membolak-baliknya sebagaimana yang Ia kehendaki, maka kita semua berdiri di tapal batas kemanusiaan kita : bahwa pada akhirnya urusan hati adalah urusan Allah swt, dan bahwa kamu wahai para laki-laki, "tidak akan pernah bisa berbuat adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS.An-Nisa : 129)
Apa yang kita sebut dengan keadilan sebenarnya tidak lebih dari sekedar konsep sederhana tentang hak dan kewajiban, tentang pembagian nafkah dan giliran hari. Itu batas minimum dari keadilan yang dapat diukur ketika secara manusiawi kita mencoba "mematematikakannya" dalam konteks hubungan kemanusiaan dalam keluarga Tapi selesaikah persoalannya sampai di situ? Ternyata tidak. Sebab itu tidak menyentuh kadar cinta yang terkandung dalam emosi kita. Dan tidak mungkin akan sampai ke sana. Sebab jika Sang Rasul sendiri menyerah pasrah pada Allah, bahwa semua yang bisa ia tunaikan hanya keadilan kuantitatif itu, dan bahwa ia tidak akan pernah sanggup menyamakan rasa cintanya pada semua isterinya; sebab jika hanya itu yang bisa dilakukan Sang Rasul, kita semua harus berdiri khusyu' di sini, di tapal batas kemanusiaan kita, bahwa keadilan rasa ini selamanya akan relatif dalam bumi manusia, dan selamanya hanya Allah yang bisa menyelesaikannya, dan semua yang bisa kita lakukan hanya satu: istigfar tiada henti sembari mengingat pesan Allah: "karena itu janganlah kamu terlalu cenderung( kepada isteri yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.An-Nisa : 129)
Begitu kita mengangkat perkara ini ke langit, kita segera bertemu dengan sebuah kaidah besar : bahwa semua jiwa yang ada di sekitar kita hanya cermin besar yang selalu memantulkan isi jiwa kita sendiri. Maka berkatalah seorang ulama, "Aku dapat melihat dampak dari setiap maksiat yang kulakukan pada perilaku isteriku dan binatang tungganganku." Masalah intinya, dengan begitu, sesungguhnya terletak pada kadar spiritulitas kita yang secara terus menerus melahirkan kebajikan permanen dan mengangkat jiwa-jiwa yang ada di sekelilingnya untuk naik secara bersama ke ketinggian cita dan cinta kepada Allah serta menyamakan frekuensi emosi kita dalam nada cinta abadi itu. Masalah komunikasi di sini menjadi jauh lebih teknis: sebab kita tidak lagi sekedar bicara hak-hak kita, sebab kita telah melampau tema itu, sebab kita sudah melewati bahasa tuntutan kepada bahasa pengertian, meninggalkan kebiasaan menerima kepada kebiasaan memberi, sebab jalan untuk memperoleh hak-hak kita adalah dengan menunaikan kewajiban kita secara tuntas, sebab tema besar kita adalah tentang pengembangan kualitas hidup kolektif kita.
Agaknya dalam kesadaran seperti itu kemudian Saudah, isteri yang dinikahi Rasulullah saw setelah Khadijah dan sebelum Aisyah dan tertua di antara semua isterinya, suatu saat mengharu biru suaminya, Rasulullah saw dengan mengatakan, "Ya Rasulullah, berikanlah giliran hariku pada aisyah."@
Begitu kita mengangkat perkara ini ke langit, kita segera bertemu dengan sebuah kaidah besar : bahwa semua jiwa yang ada di sekitar kita hanya cermin besar yang selalu memantulkan isi jiwa kita sendiri. Maka berkatalah seorang ulama, "Aku dapat melihat dampak dari setiap maksiat yang kulakukan pada perilaku isteriku dan binatang tungganganku." Masalah intinya, dengan begitu, sesungguhnya terletak pada kadar spiritulitas kita yang secara terus menerus melahirkan kebajikan permanen dan mengangkat jiwa-jiwa yang ada di sekelilingnya untuk naik secara bersama ke ketinggian cita dan cinta kepada Allah serta menyamakan frekuensi emosi kita dalam nada cinta abadi itu. Masalah komunikasi di sini menjadi jauh lebih teknis: sebab kita tidak lagi sekedar bicara hak-hak kita, sebab kita telah melampau tema itu, sebab kita sudah melewati bahasa tuntutan kepada bahasa pengertian, meninggalkan kebiasaan menerima kepada kebiasaan memberi, sebab jalan untuk memperoleh hak-hak kita adalah dengan menunaikan kewajiban kita secara tuntas, sebab tema besar kita adalah tentang pengembangan kualitas hidup kolektif kita.
Agaknya dalam kesadaran seperti itu kemudian Saudah, isteri yang dinikahi Rasulullah saw setelah Khadijah dan sebelum Aisyah dan tertua di antara semua isterinya, suatu saat mengharu biru suaminya, Rasulullah saw dengan mengatakan, "Ya Rasulullah, berikanlah giliran hariku pada aisyah."@