Suatu hari, Imam Al Ghazali mengumpulkan murid-muridnya. Ia ingin berdiskusi dengan mereka, bertanya tentang beberapa hal sembari menambahkan pemahaman dan keilmuan mereka. Pertanyaan sederhana yang pertama diajukan oleh Sang Imam adalah, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"
Murid-murid Al ghazali itu dengan penh semangat saling bergantian menjawab pertanyaan gurunya. Jawaban-jawaban mereka ternyata berbeda-beda. Di antara mereka ada yang menjawab orang tua, guru, teman, kerabat dan sebagainya. Tak ada jawaban yang sama. Selesai mereka menjawab, Imam Al Ghazali menanggapinya dengan tenang dan bijak, "Semua jawaban kalian benar. Tetapi sesungguhnya yang paling dekat dengan kita adalah "mati". Sebab itu sudah merupakan janji Allah swt. bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati."
Yang diinginkan Al Ghazali ternyata hanya jawaban yang begitu singkat. Tetapi mendalam dan penuh makna. Sesuatu yang barangkali tidak sempat terlintas di benak mereka, sehingga sebagian mereka tampak terhenyak mendengar penjelasan Sang guru.
Murid-murid Al ghazali itu dengan penh semangat saling bergantian menjawab pertanyaan gurunya. Jawaban-jawaban mereka ternyata berbeda-beda. Di antara mereka ada yang menjawab orang tua, guru, teman, kerabat dan sebagainya. Tak ada jawaban yang sama. Selesai mereka menjawab, Imam Al Ghazali menanggapinya dengan tenang dan bijak, "Semua jawaban kalian benar. Tetapi sesungguhnya yang paling dekat dengan kita adalah "mati". Sebab itu sudah merupakan janji Allah swt. bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati."
Yang diinginkan Al Ghazali ternyata hanya jawaban yang begitu singkat. Tetapi mendalam dan penuh makna. Sesuatu yang barangkali tidak sempat terlintas di benak mereka, sehingga sebagian mereka tampak terhenyak mendengar penjelasan Sang guru.
Al Ghazali, sang tokoh sufi itu, telah berkata benar. Mati, atau kematian, atau ajal memang sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh akal manusia, tidak terduga dan idak pula bisa diraba oleh tangan, tapi ia begitu dekat dan pasti akan datang kepada siapa saja, kepada semua makhluk yang bernyawa. Tak ada yang terkecuali selain Allah, Dzat yang telah menciptakan kematian sebagai akhir dari kehidupan.
Begitu dekatnya kematian itu dengan kita, hampir setiap saat ia melintas di hadapan kita, menjemput dan menggilir orang-orang di sekitar kita, Entah mereka kerabat, tetangga, atau kenalan kita, atau juga saudara-saudara kita nun jauh di tempat lain, yang berita kematiannya selalu mengisi lembaran-lembaran media, cetak dan elektronik, karena bencana atau peperangan yang mengantarkan mereka kepada kematian.
Kematian itu datang dengan caranya sendiri, yang bermacam-macam, dengan sebuah targedi yang dahsyat atau dengan sesuatu yang sepele; tiba-tiba atau dengan perantaraan sakit yang parah. Tapi apapun sebabnya, sebutannya selalu sama; mati, dan hasilnya juga tidak pernah berbeda; memaksa hidup berhenti dan memutus segala kenikmatan yang ada.
Mati sesungguhnya adalah sebuah nasihat yang tak berbicara yang dikirim Allah swt. untuk kita, agar kita selalu ingat kepada-Nya, agar kita tidak hanyut oleh kemewahan dunia dan lupa berbekal untuk menghadapi kehidupan akhirat yang lebih panjang, dan agar tertanam rasa takut di hti kita akan kematian itu, jika ia datang menjemput sementara kita masih bergelimang dosa dan maksiat. Dan inilah yang menyebabkan para pendahulu kita selalu berhadapan dengan kematian.
Mari kita simak dan belajar dari akhir kehidupan para salafushalih terdahulu, orang-orang yang terdepan dari umat ini, para pemimpin dan ulama kaum muslimin. Sungguh mereka dalam kesusahan dan begitu takut kalau menghadap Allah swt. dalam keadaan membawa dosa dan kemaksiatan.
Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan bahwa Rasulullah saw tatkala menjelang wafat, disediakan untuk beliau sebuah wadah air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam air lalu mengusapkan ke wajahnya seraya bersabda, "La laaha illallah, sesungguhnya di dalam kematian ada sakaratul maut." Kemudian beliau menengadahkan kedua tangannya lalu mengatakan, "Fir Rafiqil A'la." Kalimat yang diucapkan setiap nabi menjelang ajalnya, dan setelah itu beliaupun kembali menghadap Rabbnya dengan tangan yang terkulai lemas.
Umar bin khattab ra, sahabat yang terkenal keras dan tegas itu, ketika menjelang ajalnya berkata kepada puteranya Abdullah, "Letakkan pipiku di atas tanah!" Namun Abdullah enggan untuk melakukannya. Umarpun menegaskan permintaannya itu hingga tiga kali, "Letakkan pipiku di atas tanah, semoga Allah melihatku dalam keadaan demikian, dan Dia lalu mengasihaniku." Diriwayatkan bahwa Umar terus menangis sehingga pasir-pasir menempel di kedua matanya seraya mengatakan, "Celakalah Umar, celaka juga ibunya jika Allah tidak memaafkannya."
Demikian pula Abu Hurairah ra, ketika sakitnya semakin keras ia menangis. Seorang sahabatnya bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?" Ia menjawab, "Aku menangis bukan karena dunia ini, namun aku menangisi perjalanan setelah ini (dunia), bekalku yang sedikit, lalu aku akan menapaki tempat yang menanjak lagi amat luas, sementara aku tidak tahu akan dimasukkan ke neraka atau ke surga."
Utsman bin Affan, Abu Darda', Atha' As Sulami, Muhammad Al Munkadir, Shufyan Ats Tsauri, dan para salafushalih lainnya yang amal kebaikannya mungkin tak pernah bisa kita tandingi, juga menangis di saat-saat akhir kehidupan mereka karena sangat khawatir kalau kebaikan mereka tak dapat menutupi kesalahan-kesalahan mereka di sisi Allah.
Karena itulah maka kita sesungguhnya patut merenungi nasihat Syafiq bin Ibrahim yang berkata, "Bersiap-siaplah kalian semua di dalam menghadapi kematian, jangan sampai ketika ia datang lalu kalian minta dikembalikan lagi ke dunia (karena belum beramal)."
Hari ini, kita menyaksikan dan bahkan mungkin merasakan dalam diri kita masing-masing, bahwa tragedi kematian yang saban hari kita jumpai, seperti tidak lagi menjadi sesuatu yang dapat memberi pengaruh besar untuk mengembalikan kesadaran kita dari kelalaian dan kealpaan, seperti pengaruhnya terhadap para pendahulu kita. Mereka, para salafushalih itu, di antara mereka bahkan ada yang berpura-pura mati dengan mengubur diri ketika godaan dunia mereka rasakan begitu kuat mempengaruhi jiwa mereka. Sementara kita, nasihat kematian terasa sudah tidak begitu kuat mempengaruhi jiwa spiritual kita. Kematian tetangga, teman sebaya, atau saudara kita seperti tidak membuat berpikir bahwa giliran kematian itu semakin dekat dengan kita.
Hilangnya pengaruh itu mungkin disebabkan oleh kecintaan kita kepada dunia yang sudah berlebihan, sehingga rasa takut kita berubah menjadi kebencian, seperti yang pernah diingatkan oleh Rasulullah saw. Atau mungkin pula karena hati kita sudah tertutup oleh karat-karat dosa, sehingga peringatan sedahsyat apapun sudah tidak memberi bekas lagi. Atau mungkin juga karena kita sudah terlalu sering bertemu degan kematian, sehingga ia menjadi sesuatu yang biasa. Kematian personal yang kita saksikan sudah tidak memberi hentakan pada hati dan perasaan kita. Karena itu, maka Allah tidak pernah berhenti mengirimkan kepada kita bencana-bencana yang dahsyat untuk membangunkan kita dari buaian maksiat dan dosa.
Memang, pengaruh kematian personal tidak sekuat pengaruh kematian massal. Banyak orang yang baru tersadar setelah melihat manusia-manusia di sekitarnya terceracut nyawanya seperti tercerabutnya rumput-rumput kecil dari akarnya. Karenanya, Allah swt selalu mnyentak kesadaran orang-orang yang sulit disadarkan dengan mengirimkan kematian yang massal. Sehingga mereka yang menyaksikan itu, ataupun orang yang terselamatkan darinya, mau mengambil pelajaran.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, dari umat-umat para nabi hingga kita saat ini, ada banyak peristiwa dahsyat yang sengaja Allah kirimkan kepada kaum-kaum yang melampaui batas agar mereka kembali ke jalan yang benar. Imam Ath Thabari, Ibnu Katsir, Al Yafi'i, dan Utsman bin Basyar dalam buku-buku sejarah yang mereka tulis menuturkan banyak kisah kematian massal yang ditimpakan kepada orang-orang yang lalai, agar mereka kembali bertaubat. Ibnu Basyar, misalnya, menyebutkan dalam buku sejarah Nejed, bahwa pada tahun 1204 H terjadi bencana dingin yang luar biasa di wilayah Huraimala yang tidak hanya merenggut ribuan nyawa manusia, tetapi juga memusnahkan binatang ternak, unggas, serta menghancurkan perkebunan dan hutan-hutan.
Sebelum itu, di tahun 1187 H, penyakit tha'un yang sangat hebat melanda penduduk Kufah, Bashrah dan sekitarnya. Penyakit itu tidak menyisakan penduduk Bashrah kecuali hanya sedikit. Mereka yang tersisa memperkirakan lebih dari 350 ribu jiwa meninggal karena penyakit itu.
Datangnya bencana-bencana seperti itu, bagi orang yang beriman kepada Allah, tentu diyakini sebagai akibat dari kealpaan dan kelalaian manusia, bukan karena faktor alam semata. Oleh karena itu, apa yang menimpa bangsa ini dari sederetan peristiwa ; gempa, tsunami, letusan gunung, tanah longsor, banjir, badai, lumpur, amukan ombak, dan kebakaran yang memamerkan kematian massal, hendaknya diyakini sebagai sebuah peringatan kepada kita semua yang tersisa, yang menjadi "penonton" dari kejauhan atau yang terselamatkan dari peristiwa dahsyat itu, agar dapat menjadi pemantik untuk kembalinya kesadaran kita yang hilang.
Rasanya, baru saja bangsa ini mencoba menatap masa depan yang lebih baik, berharap ada sinar cerah di tahun yang baru, namun kembali kita harus diguncang oleh bencana demi bencana. Tiba-tiba saja ada anak-anak kecil yang harus menjadi yatim, ibu-ibu menjadi janda, orang tua kehilangan anak, rencana pernikahan yang terpaksa batal, semua karena kematian massal yang kembali melanda.
Cukuplah ayat-ayat di atas, menjadi peringatan kepada kita semua, agar kita pandai menghargai hidup serta mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa kematian; yang karena sebab sepele atau karena tragedi yang dahsyat.@
Ikuti pula tulisan lain di sini
(Tarbawi..Edisi 148/1 Pebruari 2007)
Begitu dekatnya kematian itu dengan kita, hampir setiap saat ia melintas di hadapan kita, menjemput dan menggilir orang-orang di sekitar kita, Entah mereka kerabat, tetangga, atau kenalan kita, atau juga saudara-saudara kita nun jauh di tempat lain, yang berita kematiannya selalu mengisi lembaran-lembaran media, cetak dan elektronik, karena bencana atau peperangan yang mengantarkan mereka kepada kematian.
Kematian itu datang dengan caranya sendiri, yang bermacam-macam, dengan sebuah targedi yang dahsyat atau dengan sesuatu yang sepele; tiba-tiba atau dengan perantaraan sakit yang parah. Tapi apapun sebabnya, sebutannya selalu sama; mati, dan hasilnya juga tidak pernah berbeda; memaksa hidup berhenti dan memutus segala kenikmatan yang ada.
Mati sesungguhnya adalah sebuah nasihat yang tak berbicara yang dikirim Allah swt. untuk kita, agar kita selalu ingat kepada-Nya, agar kita tidak hanyut oleh kemewahan dunia dan lupa berbekal untuk menghadapi kehidupan akhirat yang lebih panjang, dan agar tertanam rasa takut di hti kita akan kematian itu, jika ia datang menjemput sementara kita masih bergelimang dosa dan maksiat. Dan inilah yang menyebabkan para pendahulu kita selalu berhadapan dengan kematian.
Mari kita simak dan belajar dari akhir kehidupan para salafushalih terdahulu, orang-orang yang terdepan dari umat ini, para pemimpin dan ulama kaum muslimin. Sungguh mereka dalam kesusahan dan begitu takut kalau menghadap Allah swt. dalam keadaan membawa dosa dan kemaksiatan.
Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan bahwa Rasulullah saw tatkala menjelang wafat, disediakan untuk beliau sebuah wadah air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam air lalu mengusapkan ke wajahnya seraya bersabda, "La laaha illallah, sesungguhnya di dalam kematian ada sakaratul maut." Kemudian beliau menengadahkan kedua tangannya lalu mengatakan, "Fir Rafiqil A'la." Kalimat yang diucapkan setiap nabi menjelang ajalnya, dan setelah itu beliaupun kembali menghadap Rabbnya dengan tangan yang terkulai lemas.
Umar bin khattab ra, sahabat yang terkenal keras dan tegas itu, ketika menjelang ajalnya berkata kepada puteranya Abdullah, "Letakkan pipiku di atas tanah!" Namun Abdullah enggan untuk melakukannya. Umarpun menegaskan permintaannya itu hingga tiga kali, "Letakkan pipiku di atas tanah, semoga Allah melihatku dalam keadaan demikian, dan Dia lalu mengasihaniku." Diriwayatkan bahwa Umar terus menangis sehingga pasir-pasir menempel di kedua matanya seraya mengatakan, "Celakalah Umar, celaka juga ibunya jika Allah tidak memaafkannya."
Demikian pula Abu Hurairah ra, ketika sakitnya semakin keras ia menangis. Seorang sahabatnya bertanya, "Apa yang membuatmu menangis?" Ia menjawab, "Aku menangis bukan karena dunia ini, namun aku menangisi perjalanan setelah ini (dunia), bekalku yang sedikit, lalu aku akan menapaki tempat yang menanjak lagi amat luas, sementara aku tidak tahu akan dimasukkan ke neraka atau ke surga."
Utsman bin Affan, Abu Darda', Atha' As Sulami, Muhammad Al Munkadir, Shufyan Ats Tsauri, dan para salafushalih lainnya yang amal kebaikannya mungkin tak pernah bisa kita tandingi, juga menangis di saat-saat akhir kehidupan mereka karena sangat khawatir kalau kebaikan mereka tak dapat menutupi kesalahan-kesalahan mereka di sisi Allah.
Karena itulah maka kita sesungguhnya patut merenungi nasihat Syafiq bin Ibrahim yang berkata, "Bersiap-siaplah kalian semua di dalam menghadapi kematian, jangan sampai ketika ia datang lalu kalian minta dikembalikan lagi ke dunia (karena belum beramal)."
Hari ini, kita menyaksikan dan bahkan mungkin merasakan dalam diri kita masing-masing, bahwa tragedi kematian yang saban hari kita jumpai, seperti tidak lagi menjadi sesuatu yang dapat memberi pengaruh besar untuk mengembalikan kesadaran kita dari kelalaian dan kealpaan, seperti pengaruhnya terhadap para pendahulu kita. Mereka, para salafushalih itu, di antara mereka bahkan ada yang berpura-pura mati dengan mengubur diri ketika godaan dunia mereka rasakan begitu kuat mempengaruhi jiwa mereka. Sementara kita, nasihat kematian terasa sudah tidak begitu kuat mempengaruhi jiwa spiritual kita. Kematian tetangga, teman sebaya, atau saudara kita seperti tidak membuat berpikir bahwa giliran kematian itu semakin dekat dengan kita.
Hilangnya pengaruh itu mungkin disebabkan oleh kecintaan kita kepada dunia yang sudah berlebihan, sehingga rasa takut kita berubah menjadi kebencian, seperti yang pernah diingatkan oleh Rasulullah saw. Atau mungkin pula karena hati kita sudah tertutup oleh karat-karat dosa, sehingga peringatan sedahsyat apapun sudah tidak memberi bekas lagi. Atau mungkin juga karena kita sudah terlalu sering bertemu degan kematian, sehingga ia menjadi sesuatu yang biasa. Kematian personal yang kita saksikan sudah tidak memberi hentakan pada hati dan perasaan kita. Karena itu, maka Allah tidak pernah berhenti mengirimkan kepada kita bencana-bencana yang dahsyat untuk membangunkan kita dari buaian maksiat dan dosa.
Memang, pengaruh kematian personal tidak sekuat pengaruh kematian massal. Banyak orang yang baru tersadar setelah melihat manusia-manusia di sekitarnya terceracut nyawanya seperti tercerabutnya rumput-rumput kecil dari akarnya. Karenanya, Allah swt selalu mnyentak kesadaran orang-orang yang sulit disadarkan dengan mengirimkan kematian yang massal. Sehingga mereka yang menyaksikan itu, ataupun orang yang terselamatkan darinya, mau mengambil pelajaran.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, dari umat-umat para nabi hingga kita saat ini, ada banyak peristiwa dahsyat yang sengaja Allah kirimkan kepada kaum-kaum yang melampaui batas agar mereka kembali ke jalan yang benar. Imam Ath Thabari, Ibnu Katsir, Al Yafi'i, dan Utsman bin Basyar dalam buku-buku sejarah yang mereka tulis menuturkan banyak kisah kematian massal yang ditimpakan kepada orang-orang yang lalai, agar mereka kembali bertaubat. Ibnu Basyar, misalnya, menyebutkan dalam buku sejarah Nejed, bahwa pada tahun 1204 H terjadi bencana dingin yang luar biasa di wilayah Huraimala yang tidak hanya merenggut ribuan nyawa manusia, tetapi juga memusnahkan binatang ternak, unggas, serta menghancurkan perkebunan dan hutan-hutan.
Sebelum itu, di tahun 1187 H, penyakit tha'un yang sangat hebat melanda penduduk Kufah, Bashrah dan sekitarnya. Penyakit itu tidak menyisakan penduduk Bashrah kecuali hanya sedikit. Mereka yang tersisa memperkirakan lebih dari 350 ribu jiwa meninggal karena penyakit itu.
Datangnya bencana-bencana seperti itu, bagi orang yang beriman kepada Allah, tentu diyakini sebagai akibat dari kealpaan dan kelalaian manusia, bukan karena faktor alam semata. Oleh karena itu, apa yang menimpa bangsa ini dari sederetan peristiwa ; gempa, tsunami, letusan gunung, tanah longsor, banjir, badai, lumpur, amukan ombak, dan kebakaran yang memamerkan kematian massal, hendaknya diyakini sebagai sebuah peringatan kepada kita semua yang tersisa, yang menjadi "penonton" dari kejauhan atau yang terselamatkan dari peristiwa dahsyat itu, agar dapat menjadi pemantik untuk kembalinya kesadaran kita yang hilang.
Rasanya, baru saja bangsa ini mencoba menatap masa depan yang lebih baik, berharap ada sinar cerah di tahun yang baru, namun kembali kita harus diguncang oleh bencana demi bencana. Tiba-tiba saja ada anak-anak kecil yang harus menjadi yatim, ibu-ibu menjadi janda, orang tua kehilangan anak, rencana pernikahan yang terpaksa batal, semua karena kematian massal yang kembali melanda.
Cukuplah ayat-ayat di atas, menjadi peringatan kepada kita semua, agar kita pandai menghargai hidup serta mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa kematian; yang karena sebab sepele atau karena tragedi yang dahsyat.@
Ikuti pula tulisan lain di sini
(Tarbawi..Edisi 148/1 Pebruari 2007)